Tuesday, February 12, 2013

Melacak Akar Konflik Antar Perguruan SETIA HATI


Melacak Akar Konflik Antar Perguruan SETIA HATI di Karisidenan Madiun

 

Kasus perkelahian antar perguruan silat yang di motori oleh Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan Setia Hati Tunas muda winongo atau di sebut STK (Sedulur tunggal kecer) di karesidenan madiun akhir-akhir ini sangat marak dan melibatkan masa pendukung secara massif dan di sertai dengan pengerusakan serta jatuhnya korban jiwa.

Konflik yang berpangkal dari perbedaan penafsiran dan klaim kebenaran tentang ideoligi keSHan merambat hampir seluruh karisedanan Madiun. Hadirnya konflik tersebut juga meinimbulkan keresahan dan ketidaknyaman berbagai lapisan masyarakat. Arkeologi Kekerasan SH Terate VS SH Winongo Perkelahian secara turun temurun antar SH Terate dan SH Winongo tidak lepas dari setting sejarah yang melatarbelakangi.

Kedua perguruan tersebut pendiri  awalnya merupakan satu perguruan yaitu Setia Hati (diawali berdirinya Sedulur Tunggal Kecer) yang berdiri di kampung Tambak Gringsing Surabaya oleh KI Ngabei Soero Diwiryo dari Madiun pada tahun 1903. Pada tahun tersebut KI Ngabei belum menamakan perguruannya dengan nama Setia Hati namun, bernama “Joyo Gendilo Cipto Mulyo” hanya dengan 8 orang siswa, didahului oleh 2 orang saudara yaitu Noto/Gunadi (adik kandung KI Ngabei sendiri) dan kenevel Belanda. Organisasi silat tersebut mendapat hati di kalangan masyarakat sekitar tahun 1917, yang mana Joyo Gendilo Cipto Mulyo mealkukan demonstarsi silat secara terbuka di alun–alun Madiun dan menjadikannya sebgai perguruan yang popular di kalangan masyarakat karena gerakan yang unik penuh seni dan bertenaga.

Pada tahun 1917 Joyo Gendilo Cipto Mulyo bergati nama dengan Setia Hati. Pendiri perguruan tersebut meninggal pada tanggal 10 November 1944 dalam usia 75 tahun, dengan meninggalkan wasiat supaya rumah dan pekarangannya diwakafkan kepada Setia Hati dan selama bu Ngabei Soero Diwiryo masih hidup tetap menetap di rumah tersebut dengan menikmati pensiun dari perguruan tersebut.

KI Ngabei dimakamkan di Desa Winongo Madiun dengan batu nisan garnit dengan dikelilingi bunga melati. Dan oleh berbagai kalangan makam Ki Ngabei dijadikan pusat dari perguruan Setia Hati. Dan pada Tahun 1922 Murid KI Ngabei Soero Diwiryo Pak Harjo Oetomo mendirikan Setia Hati Terate sebagai respon untuk mengembangkan Pencak silat dengan ideologi ke SH an. sebagai wadah mendidik para pejuang kemerdekaan sepeninggal Eyang Suro hingga dekade 1965an kehidupan antar Rumpun SH berjalan harmonis dan  kekelurgaan

Pertentangan kedua rumpun SH di mulai saat ada karnaval 17 agustus di alun alun Kota Madiun tahun 1987 ketika itu terjadi saling ejek dan kemudian saling lempar botol minuman air mineral dan berakhir dengan tawuran masal

Konflik kedua Rumpun SH  merambat sampai akar rumput sampai  sekarang yang di penuhi rasa kebencian satu sama lain. di perparah dengn doktrin2 pelatih yg menyesatkan seperti pengakuan bahwa SH tunas muda adalah Asli penerus eyang suro pdhal bukan dan juga pengakuan lahir 1903 padahal SH Tunas Muda Mulai aktif tahun 1965 Belum lagi konflik di perparah kepentingan politik dan perebutan basis ekonomi. Basis pendukung antar kedua perguruan di bedakan oleh perbedaan kelas juga. SH Winongo berkembang dalam alan perkotaan dan basis pendukungnya adalah para bangsawan atau priyayi sedangkan SH Terate berkembang di wilayah pedesaan dan pinggiran kota. Perpecahan kedua perguruan tadi juga terletak dalam strategi pengembangan ideologi yang satu bersifat ekslusif sedangkan Hardjo Utomo ingin membangun SH yang lebih bisa diterima masyarakat bawah guna melestarikan perguruan.

Melihat dari latar belakang tersebut konflik yang tejadi adalah konflik identitas yang mana SH Tunas Muda  mengklaim kebenaran pembawa nilai Ideoligi SH yang orisinil, ASLI dan menganggap dirinya yang paling baik dan benar. Klaim kebenaran terus menerus di reproduksi sehingga membentuk praktek–praktek diskursif yang meyalahkan SH yg lain.antara laen Ga asli lah jurusnya di rubah lah dll

Konflik yang di gerakkan oleh klaim kebenaran pemegang otoritas tunggal ideologi ke SH an juga di dukung olehkultur agraris masyarakat setempat yang dalam kehidupan sehari-hari tidak mempunyai kegiatan selain bertani untuk memenuhi kebutuhan sehari –hari. Tumbuh suburnya perguruan silat di karesidenan Madiun juga di topang oleh idelogi pencak silat yang di olah kebatinan kejawen yang sangat familiar dalam kehidupan sehari–hari.

Implikasinya kelompok silat menjadi suatu yang itegral dalam kehidupan masyarakat dan masyarakat juga ikut melestarikan konflik di sebabkan tingkat partisipasinya dalam kelompok silat sangat tinggi. Hadirnya kelompok silat dalam masyrakat agraris adalah sebuah media sosial untuk melepaskan rutinitas sehari–hari dan sebagai pelepas tekanan kemiskinan yang sering di derita masyarakat petani.



Hadirnya nuansa politisasi dalam sebuah organisasi silat yang menambah rantai konflik semakin panjang dan sangat sulit untuk diselesaikan. Pertarungan eksistensi antara SH Tunas Muda Winongo dan SH Terate juga ber imbas pada perekutan anggota sebanyak–banyaknya. Dalam memperebutkan anggota juga sebagai perebutan basis ekonomi. Hasil Penelitian yang di lakukan oleh E. Probo dia mengambil contoh SH Terate (2002 :6 makalah diskusi), untuk satu kali pelantikan setiap bulan Sura [bulan pertama dalam kalender Jawa], Terate melakukan pelantikan sejumlah 1000-2000 anggota baru.

Jika satu anggota membayar 700 ribu rupiah, maka uang yang akan masuk ke organisasi dalam satu tahun adalah Rp 700 juta hingga 1,4 milyar rupiah !!! Jumlah yang fantastis. Ini menarik sekali, sebuah organisasi silat dengan jumlah anggota 35.000 orang dan pemasukan 700 juta hingga 1,4 milyar rupiah per tahun. Maka bila salah satu perguruan silat menguasai satu daerah maka dengan sekuat tenaga akan mempertahankan,karena di situlah eksitensi sebuah perguruan silat di pertaruhkan di lain itu mereka juga tidak mau kehilangan basis ekonominya.
 Solusinya  
1.SH terate harus bangga dengan sejarahnya dan perjuangan Pak Hardjo Utomo. Penulisan sejarah dibuat konsisten. Saya yakin sudah banyak anggota SHT yang tahu sejarah ini.
2. SH tunas muda harus mengkaji ulang sejarahnya Pak Warno. Ini paling mungkin dilihat dengan ukuran waktu. Yang dilakukan Mas KSH menurut saya sudah ok, yaitu dengan menunjukkan waktu pendirian SHTM 1965 kemudian ditarik ke belakang tentang kelahiran beliau dan sejarahnya Eyang Soero. Kesulitan disini adalah banyaknya anggota SHTM yang berpegang pada asas ‘pokoknya’ begitu sejarah SHTM dijadikan bahan diskusi. Banyak yang tidak mau berpikir terbuka dan cenderung menjadikan Pak Warno sebagai penyembahan (sudah pada taraf kultus individu).
3. Mengajak pembesar SHT dan SHTM untuk duduk bersama. Jika sudah menyangkut sejarah perguruan, menurut saya Pak Cuk SH panti juga diajak dalam diskusi. Supaya terlihat resmi, diajak juga Kadin Sospol, Kapolres dan Dandim di Madiun sebagai saksi dan bisa sebagai penengah. Untuk acara ini perlu dibuat agenda tersendiri.
Sebelum maju ke acara resmi (maksudnya diskusi dihadiri pejabat Madiun), pembesar SHTM perlu diajak diskusi awal agar dia bisa menerima jika konklusinya sejarah SHTM tidak seperti versi mereka. Agar berkesan imbang, pembesar SHT dilobby yang sama. Lobby ini perlu supaya tidak mengecewakan pejabat kota Madiun (tidak ada keributan didepan para pejabat). Proses lobbying banyak menyita waktu.
Point 2 bisa diminimalisir jika point 3 bisa berhasil. Usulan diatas bersifat konsep saja, teknisnya banyak yang mesti diberesin. Segitu dulu, mas. Semoga berkenan. Saya usul seperti diatas, karena keributan sepertinya berpangkal pada versi sejarah yang berbeda.


Sumber : http://komunitassetiahati-ksh.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment