Saturday, February 16, 2013

Jugun Ianfu






"Saya tidak kuasa menahan amarah saya mendengar sikap Jepang itu! Yang saya inginkan adalah pernyataan resmi dan pampasan uang ganti rugi dari pemerintah Jepang. Sangat keliru bila pemerintah Jepang mengira masalah ini dapat diselesaikan hanya dengan sekedar menawarkan uang". (Surat terbuka Kim Hak Soon tertanggal 4 September 1996, Soon adalah Jugun Ianfu  pertama dari Negara Korea  yang memberikan kesaksiannya di forum terbuka  sebagai budak seks militer Jepang, telah meninggal dunia 1997)


Pada tahun 1931, tentara Jepang menyerbu daratan Cina dan membangun pangkalan militer untuk menguassai daratan Cina secara keseluruhan. Hal ini terbukti saat tahun 1936 militer Jepang berhasail menduduki Kota Shanghai dan mulai mencapai Nanjing yang berjarak 360 km dari Shanghai. Demi mewujudkan ambisinya, tidak kurang dari 135.000 tentara Jepang dikerahkan.

Serbuan Jepang membuat peperangan tidak terhindarakan, rakyat Cina melawan.Bertahun-tahun berperang membuat militer Jepang kehabisan persediaan makanan. Mereka kemudian menjarahi rumah-rumah penduduk. Hal ini membuat Cina melakukan perlawanan yang lebih gigih lagi. Akibat peperangan yang berkepanjangan, sebagian besar tentara Jepang mengalami gangguan mental dan menjadi gila. Mereka mulai membunuhi rakyat sipil dan militer mulai memperkosa perempuan yang mereka lihat di mana saja dan langsung membunuhnya.

Sesudah Kota Nanjing diduduki militer Jepang, banyak diantara mereka menderita penyakit kelamin. Oleh karena situasi inilah pihak Angkatan Darat Jepang  membuat kebijakan baru yaitu ;
  1. Tentara yang menderita penyakit kelamin tidak boleh pulang ke Jepang  sampai mereka sembuh, agar penyakit kelamin tidak menyebar ke  Negara Jepang.
  2. Militer Jepang menyediakan perempuan-perempuan "bersih" untuk tentara Jepang, supaya tidak terjangkit penyakit kelamin.

Di Jepang ketika itu pelacuran diakui dan di sahkan oleh Undang-undang yang di namai Kosho Sedo (tempat pelacuran umum). Sebagian besar para perempuan yang bekerja di lokalisasi pelacuran itu berasal gadis-gadis dari keluarga miskin yang dijual oleh keluarganya sebagai barang tebusan atau barang gadaian. Berdasarkan Kosho Sedo inilah militer Jepang membuat sistem Jugun Ianfu dan membangun Ian-jo (rumah bordil) di setiap wilayah pendudukan militer Jepang di Asia. Upaya ini dilakukan untuk menghindarkan kemungkinan tertularnya penyakit kelamin, yang dapat melemahkan kekuatan tentara Jepang.

Akibat kebijakan tersebut 200.000 lebih perempuan di kawasan Asia seperti Negara Taiwan, Korea Utara, Korea Selatan, Cina, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Belanda dan Indonesia dikorbankan sebagai budak seks untuk memuaskan kebutuhan seksual sipil dan militer Jepang yang dikenal dengan sebutan Jugun Ianfu.

I N D O N E S I A  1942-1945


Tentara Jepang datang ke Indonesia memakai topeng sahabat. Mereka mengaku sebagai "Saudara Tua" dari Negara Matahari Terbit, kelak akan membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda. Kala itu rakyat Indonesia telah lelah menjadi bangsa yang terjajah dibawah kaki kolonialisme Belanda. Kedatangan tentara Jepang disambut baik rakyat Indonesia yang berharap kemerdekaan yang diimpikan. Namun Demikian impian itu tidak pernah terwujud. Malahan tentara Jepang memaksa rakyat Indonesia untuk mendukungnya untuk memenangkan perang di Asia Pasifik. Dukungan itu antara lain berupa logistik, tenaga manusia untuk membangun infra struktur proses pembangunan industrinya.

Pengerahan tenaga manusia secara paksa, dengan cara mengumpulkan laki-laki usia antara 16-40 tahun dan perempuan 16-25 tahun yang direkrut dari desa-desa. Tenaga laki-laki dijadikan Romusa (budak pekerja) dan yang perempuan dijadikan Jugun Ianfu (budak seks). Sebagian besar perempuan yang dijadikan Jugun Ianfu dipaksa dengan cara-cara kekerasan, tipu muslihat dan ancaman/teror. Para perempuan ini kemudian dimasukkan ke sebuah tempat khusus yang bernama Ian-jo, rumah bordil ala Jepang. Beberapa bentuk bangunan Ian-jo yang dipakai untuk menampung perempuan-perempuan yang dijadikan Jugun Ianfu antara lain bekas asrama peninggalan Belanda, markas militer Jepang dan rumah-rumah penduduk yang sengaja dikosongkan. Tempat tersebut biasanya dijaga ketat oleh militer Jepang. Perempuan yang telah dimasukan ke Ian-jo diberi kamar dengan nomor kamar dan nama Jepang yang tertera dipintu kamar.

Militer Jepang tidak bekerja sendirian melakukan operasi tersebut. Mereka didukung pejabat setempat  seperti lurah dan camat serta melalui Tonarigumi (RT/RW). Para pejabat lokal ini mengumpulkan puluhan perempuan miskin dan bodoh untuk dirampas dan dihancurkan martabatnya oleh laki-laki sipil dan militer Jepang. Jika operasi ini mendapat kecaman masyarakat, maka militer Jepang memakai tangan penguasa setempat untuk menutupi perbuatan biadab mereka.

Seperti kesaksian Suharti Jugun Ianfu asal Yogyakarta, "Orang tua saya di panggil Pak Lurah. Lalu Pak Lurah bilang, "Anak bapak mau dididik, di sekolahkan di Balikpapan, lalu setelah lulus nanti kerja di kantor-kantor". Pada kenyataanya  Suharti yang ketika itu berusia 15 tahun malah dijadikan Jugun Ianfu dan ditempatkan di Ian-jo Balikpapan, Kalimantan Timur selama 6 bulan.

Sistem Jugun Ianfu dibuat secara terorganisir dengan perencanaan yang matang. Seperti kesaksian Taira Tezo, bekan tentara Dai Nippon yang telah menjadi warga negara Indonesia dan berganti nama menjadi Nyoman Buleleng, "Perempuan-perempuan penghibur itu memang benar-benar ada. Saya merasakan sendiri". Jepang rupanya sadar bahwa kebutuhan biologis tentara tidak bisa dimatikan walaupu dalam keadaan perang. Sehingga saya melihat betapa terorganisirnya perempuan-perempuan itu. Di semua daerah yang telah diduduki Jepang, otomatis didirikan rumah khusus untuk itu. Di rumah biasa itu sampai ada 20 kamar yang dikelilingi tembok bambu yang tinggi.

"Penghuni rumah bambu macam-macam. Ada yang khusus perempuan Jepang, ada juga yang menyediakan perempuan campuran Cina dan Indonesia. Yang disebut  perempuan Jepang itu sebetulnya banyak juga wanita keturunan Cina, Korea atau Filipina".

Di Ian-jo itu, setiap perempuan mengalami perkosaan setiap harinya oleh 5-10 orang. Setiap orang dari kalangan sipil dan militer yang mengunjungi Ian-jo harus antri untuk mendapatkan karcis dan kaputjes (kondom). Untuk memesan perempuan yang mereka inginkan. Meskipun sudah dibakali kaputjes saat beli karcis namun sebagian besar pengunjung Ian-jo tidak mau memakai kaputjes dengan alasan mengganggu kenikmatan hubungan seksual mereka.

Mardiyem Jugun Ianfu asal Yogyakarta yang ditempatkan di Ian-jo Telawang, Kalimantan Selatan, bercerita bahwa sistem pembayaran dilakukan seperti membeli karcis bioskop yaitu melalui loket sebelum memasuki bangunan asrama. Menurut Mardiyem ada perbedaan harga untuk masuk Ian-jo bagi kalangan serdadu dan perwira Jepang.

Jika siang hari untuk pangkat serdadu harus membayar 2,5 yen, lalu sore hari pk 17.00-24.00 dengan pembayaran 3,5 yen dan pk 24.00 sampai pagi untuk pangkat perwira membayar 12,5 yen. Meski ada sistem pembayaran untuk masuk ke Ian-jo namun Jugun Ianfu tidak menerima pembayaran sama sekali. Mereka cuma menerima karcis dari tamu yang datang. Pengelola Ian-jo mengatakan karcis-karcis yang diberikan tamu harus dikumpulkan, nantinya dapat ditukarkan menjadi uang kalau mereka telah selesai bekerja di asrama. Namun janji itu cuma omong kosong  belaka. Kenyataan pahit ini dialami oleh Mardiyem yang dijadikan Jugun Ianfu saat berusia 13 tahun.

Mardiyem berkisah perkosaan pertama yang dialaminya saat belum mengalami menstruasi saat di Asrama  Telawang, Kalimantan Selatan; "Yang paling menyakitkan yang sampai sekarang tidak bisa saya lupakan adalah perkosaan yang pertama. Setelah saya diperkosa oleh laki-laki brewokan, pembantu dokter yang memeriksa kesehatan saya pertama di Telawang. Hari pertama di Asrama Telawang, saya dipaksa melayani 6 orang laki-laki padahal waktu itu saya sudah mengalami pendarahan hebat".

Jika Jugun Ianfu menolak melayani tentara Jepang mereka akan mendapat siksaan fisik berupa pukulan dan tendangan. Seperti pengalaman Mardiyem ketika menolak melayani pengelola Asrama Telawang yang bernama Cikada. Mardiyem mendapat pukulan dan tendangan bertubi-tubi, sehingga pingsan hampir enam jam. Padahal waktu itu Mardiyem baru saja mengalami aborsi paksa di usia kandungan lima bulan. Aborsi paksa dilakukan tanpa proses pembiusan, kandungan yang telah berusia lima bulan ditekan sampai bayinya keluar, tidak lama kemudian bayinya meninggal. Peristiwa ini terjadi ketika usia Mardiyem 15 tahun. Akibat penyiksaan selama menjadi Jugun Ianfu Mardiyem kini mengalami cacat fisik dan trauma secara psikologi dan seksual.

Penyelesaian Jugun Ianfu Asia Paska Perang Asia Pasifik      


Masalah Jugun Ianfu Indonesia telah dianggap selesai oleh Pemerintah Indonesia melalui Menteri Sosial Inten Suweno yang menerima dana bantuan dari Pemerintah Jepang melalui  Asia Women’s Fund  (AWF) yang didirikan tahun 1995 oleh Pemerintah Jepang dalam upaya menyelesaikan masalah Jugun Ianfu di Asia.

Pemberian dana bantuan antara dua pemerintah ini tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) tanggal 25 maret 1997 ditandatangani di Jakarta. Dana yang diberikan sebenar 380 juta yen atau sekitar 7,6 milyar rupiah yang akan diangsur Pemerintah Jepang kepada Pemerintah Indonesia selama 10 tahun. Publik sempat mengetahui jika Pemerintah Indonesia menerima angsuran pertama tahun 1997 sebesar 2 juta yen atau sekitar 775 juta rupiah yang rencananya oleh Pemerintah Indonesia uang itu akan di bangun lima panti jompo untuk Jugun Ianfu di lima propinsi yang berbeda di Indonesia antara lain Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sumatra Utara. Namun kenyataannya sampai saat ini, panti jompo yang dijanjikan tidak pernah jelas kabarnya. Sedangkan para Jugun Ianfu tidak pernah menerima dana bantuan dari Pemerintah Indonesia sepeser pun.

Ternyata AWF merupakan kendaraan politik Pemerintah Jepang, untuk melepaskan tanggungjawabnya terhadap masalah Jugun Ianfu Asia. Melalui AWF Pemerintah Jepang memecah solidaritas diantara para Jugun Ianfu Asia dengan menawarkan uang 2 juta yen tanpa permintaan maaf secara resmi ke Jugun Ianfu dari beberapa negara di Asia secara sembunyi-sembunyi. Dana AWF berasal dari para pengusaha swasta dan pajak masyarakat yang tidak mengetahui masalah Jugun Ianfu sebagai hutang perang Pemerintah Jepang yang belum terselesaikan.

Sebagian besar para Jugun Ianfu Asia menolak dana pemberian AWF tersebut, seperti yang dilakukan oleh Kim Hak Soon dari Korea dengan tegas menolak dan menyatakan tersinggung diperlakukan demikian oleh Pemerintah Jepang. Soon menyadari strategi yang dilakukan Pemerintah Jepang ini untuk mengelak dari tanggung jawab atas dosa-dosa perang Asia Pasifik.

Kasus Jugun Ianfu  tahun 1993 terkuak setelah lima pengacara Jepang yang tergabung dalam Neihibenren (Asosiasi Advokat Pengacara Jepang) menghubungi LBH Jakarta untuk meminta masukan mengenai penyelesaian masalah Jugun Ianfu di Indonesia. Di saat yang bersamaan Saat ini tercatat sebanyak 1156 Jugun Ianfu yang telah melaporkan kasusnya ke LBH Yogyakarta. Namun sesungguhnya lebih banyak lagi korban yang tidak melapor kasusnya baik karena malu dan masih menganggap aib perbudakan seksual yang menimpanya, dan juga banyak korban yang telah tutup usia.

Perjuangan Jugun Ianfu Indonesia lebih berat dibanding dengan Jugun Ianfu negara lain. Hal ini dikarenakan Pemerintah Indonesia tidak mendukung perjuangan Jugun Ianfu Indonesia, baik dukungan berupa moril di dalam dan diluar negeri maupun dukungan dana kemanusiaan berupa santunan dana kesehatan. Kenyataan ini dibuktikan dengan pernyataan resmi Inten Suweno 14 November 1996 menyatakan bahwa, "Sejak awal pemerintah Indonesia telah menyatakan tidak akan menuntut kompesasi kepada Pemerintah Jepang. Pemerintah Indonesia hanya mengharapkan Jepang mencari penyelesaian yang baik".

Melalui penyataan ini jelas Pemerintah Indonesia cuma memikirkan menjaga hubungan baik dengan Pemerintah Jepang. Ketimbang membela dan berjuang untuk warga negaranya yang diperlakukan tidak beradab dan tidak berperikemanusiaan dalam sistem perbudakan seksual militer Jepang 1942-1945. Bahkan pihak DPR yang seharusnya menjadi kekuatan alternatif moral selain pihak Pemerintah Indonesia melalui surat resminya tanggal 9 Desember 1997 menyatakan bahwa persoalan Jugun Ianfu dianggap selesai berdasarkan kesepakatan perdamaian antara Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Perdana Meteri Soebanrio dan Perdana Menteri Luar Negeri Jepang Chiro Fujiyama 20 Januari 1958. Padahal perjanjian tersebut hanya menyoal soal kerusakan fisik akibat perang, sama sekali tidak memperhitungkan aspek penderitaan kemanusiaan akibat perang.

Berbeda dengan sikap Peremintah Taiwan yang justru mendukung perjuangan para korban menuntut keadilan kepada Pemerintah Jepang. Pemerintah Taiwan bahkan berinisiatif memberikan dana bantuan lansung kepada korban di Taiwan Desember 1997. Hal ini dilakukan untuk mencegah intervensi AWF terhadap para Jugun Ianfu di Taiwan. Tindakan ekstrem untuk membela warga negaranya dilakukan oleh Pemrintah Korea, dengan lantang Permerintah Korea tersinggung dengan  tindakan Pemrintah Jepang  melalui sepak terjang AWF. Secara Tegas Pemrintah Korea menyatakan bahwa Pemerintahnya sanggup membayar dana santunan kepada setiap Jugun Ianfu Korea sama dengan nominal uang yang ditawarkan AWF kepada Jugun Ianfu Korea.

Pengadilan Rakyat Perempuan Internasional Tokyo 2000 & The Haque 2001


Pemerintah Jepang dengan segala daya upaya tidak berhasil memendam kejahatan perangnya atas masalah Jugun Ianfu. Meskipun telah enampuluh tahun berselang para korban yang selama ini menyimpan kepedihan hidup diatas sejarah yang pahit terus bertahan dan akhirnya bersuara lantang atas kebenaran yang selama ini di pendam.

Upaya para survivor ini mendapat dukungan dari masyarakat internasional bekerja sama dengan VAWW-NET Jepang (Violence Against Women in War-Net Work) yang ingin memutus rantai kekerasan dan mengakhiri impunitas para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang masih berkeliaran. Kerja-kerja untuk mewujudkan rasa keadilan dan mengungkap kebenaran Jugun Ianfu Asia  dan perempuan korban perang di seluruh dunia yang lolos dari kamp-kamp perkosaan masal di negara konflik bersenjata seperti yugoslavia, Rwanda, Columbia, burgundy, Okinawa, Aceh, Afganistan, Banglades yang masih terus berlangsung  diwujudkan dalam  bentuk Pengadilan Rakyat Perempuan Internasional (Tribunal Tokyo) 7-12 Desember 2000.

Pengadilan ini bermaksud menuntut Pemerintah Jepang sebagai penjahat perang yang melakukan sistem perbudakan seksual selama perang Asia pasifik 1931-1945 dan meminta pertanggungjawaban Pemerintah Jepang atas kejahatan perang yang telah dilakukan. Pengadilan ini dihadiri oleh negara-negara di Asia dan Belanda yang mengalamai perbudakan seksual militer Jepang seperti ; Indonesia, Cina, Taiwan, Korea Utara, Korea Selatan, Malaysia, Timor Leste, Malaysia, Filipina dan Belanda. Keputusan final dilanjutkan di Den Haaq, Belanda tahun 2001 dengan hasil yang menyatakan bahwa Kaisar Hirohito BERSALAH dan para petinggi militer dan birokrat sipil atas sistem perbudakan seksual yang dilakukan selama perang Asia Pasifik 1931-1945.

Selain itu juga pengadilan ini juga menuntut Pemrintah Jepang tiga hal paling mendasar dari tuntutan Jugun Ianfu Asia yaitu ; Pemerintah Jepang harus meminta maaf  secara individu kepada setiap survivor, Pemerintah Jepang harus memasukan sejarah Jugun Ianfu Asia ke dalam kurikulum pendidikan sekolah di Jepang, Pemerintah Jepang harus memberikan kompesasi berupa dana santunan kepada setiap survivor.

Saat ini meskipun telah lima tahun berselang sejak Tribunal Tokyo dan Tribunal The Haaq digelar pemerintah Jepang tidak juga bergeming dan tidak segera memenuhi tuntutan pengadilan ini. Namun kita sebagai bagian dari masyarakat dunia yang menginginkan penegakan  Hak Asasi Manusia telah berhasil mendobrak kebisuan masalah Jugun Ianfu Asia setengah abad lebih dan mengungkap kebenaran atas penderitaan Jugun Ianfu Asia dan mengumandangkan seluruh dunia bahwa Negara Jepang merupakan pelaku kejahatan perang atas persoalan Jugun Ianfu Asia.
Pengadilan rakyat ini hanyalah salah satu cara untuk menggapai keadilan Jugun Ianfu Asia yang masih hidup dan usaha masayarakat dunia yang pro demokrasi untuk mematahkan rantai impunitas para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Meskipun perjalanan menegakan Hak Asasi Manusia untuk para Jugun Ianfu Asia masih panjang, namun ini upaya kita untuk seluruh perempuan di seluruh dunia untuk menjadi bagian dari masyarakat dunia yang bermartabat.


Kejahatan Perang Asia-Pasifik Yang Belum Terselesaikan Penulis : Eka Hindrati-Peneliti Independen Ianfu Indonesia

No comments:

Post a Comment